Selasa, 29 Oktober 2013

Seharusnya Memandang Nyata



Lekukan senyum wajahmu memang indah
Seindah Tuhan mempertemukan kita
Menyapa sejuta tanya
Yang menyatukan pada ikatan cinta
Terbelai dalam asmara
Yang tak ingin saling melepas

Namun tangan lingkungan berkata lain
Membuka mata yang selama ini
Seharusnya memandang nyata
Bukan bermain-main dalam angan
Ataupun membuat asa dalam kekosongan

Kini…..Pudar lah ikatan cinta
Saat nyata menjadi tokoh utama
Dalam perjalanan kita
Pertemuan kita yang indah
Tak akan tertangisi
Dengan perpisahan yang terlambat
Tergores oleh kemurahan hati kita

Tercapailah Target Impian Ku


Langit masih bergelut dengan awan gelap, tiupan angin yang menyejukkan mulai menembus cela-cela tubuhku. Ku tarik selimut yang ku kenakan hingga menutupi leher. Sesaat kemudian jam bekerku berbunyi. Segera ku ambil dan mematikannya. Pagi ini aku akan bangun sedikit terlambat, karena dinginnya udara tak bisa ku lawan. Ku pejamkan mataku lagi dan ya berhasil.

"Syifaaaaa ayo bangun!" suara merdu nan lembut yang sudah tidak asing lagi di telingaku, suara mama yang setiap pagi tiada bosannya membangunkan ku.

"Iyaya ini bangun, mam." Jawabku dengan suara lemas.

"Iya jangan ngomong aja dong sayang. Ayo bangun sudah siang ini. Kamu tidak pergi ke sekolah?" tanyanya.

"Iya ini sudah bangun nih mam, sekolah dong ini kan masih pagi." Jelasku dengan mencoba mengangkat tubuh yang menempel di tempat tidur.

Selesai semuanya, aku siap untuk melangkah hari ini. Dengan honda beat aku melewati ruas jalan yang mengantarkan ku menuju ke sekolah. 15 menit sebelum bel masuk berbunyi, aku sudah berada di dalam kelas. Ini pertama kalinya, aku datang lebih awal dari sahabat-sahabatku. Biasanya aku yang paling akhir dari mereka, bahkan 5 menit sebelum bel masuk. Ku ambil sebuah buku pelajaran dari tas ku sambil menunggu mereka datang.

"Syifaaaaaa, dengarkan ini dengarkan aku!" suara Sherin dari arah pintu kelas berjalan menghampiri mejaku.

"Iya, Sherin. Ada apa kamu memanggil ku sampai begitu?" Tanyaku penasaran.

"Kakak saudara ku di terima di UA. Kamu kerumahku ya? Ada syukuran sama ku kenalkan kamu dengan kakak saudaraku. Kan kamu juga pengen di situkan. Mau ya?” Jelasnya.

"Iya, tapi bagaimana ya, Sher?" guman ku.

"Sudah ayolah besokkan libur, nanti tak jemputdeh. Aku juga meminta Sita dan Sherly untuk datang nanti malam. Mau ya, Syifa? Aku jemput jam 7." pinta Sherin padaku.

"Iyadeh ya, aku mau. Okedeh, tak tunggu."

Kemudian bel masuk berbunyi. Murid-murid SMA KUSUMA BANGSA memasuki ruang kelas masing-masing. Pembelajaran pun dimulai hingga selesai. Sepulang sekolah, aku merebahkan badanku ditempat tidur dan memandang langit-langit kamar ku. “Sebenarnya impianku ingin menjadi seorang dokter, namun terkadang impian ku di perdebatkan oleh orang tua ku. Aku masih ingat kalimat papa saat itu “Syifa, setelah lulus nanti kamu masuk pertanian atau perpajakan saja. Itu lebih mudah daripada kamu memilih kedokteran.” mama mendukung usul papa yang membuatku semakin bingung dengan pilihanku akan kemana setelah lulus nanti” batinku dalam hati. Hingga tak terasa aku tertidur.

"Sayang, ayo bangun. Sudah jam berapa ini? Kamu tidak sholat?" suara lembut mama membangunkan tidur siangku.

Aku langsung bangun "Jam berapa ini mama? Aku ada janji sama Sherin?"

"Masih jam 5 kok, kamu ada janji apa sayang?" tanya mama.

“Dia menyuruhku datang ke syukurannya kakak saudara yg di terima di UA, dia menjemputku nanti." jelasku.

"Di UA? Jurusan apa?"

"Entahlah mam, Sherin tidak memberitahuku. Tapi dia akan mengenalkanku pada kakak saudaranya itu."

"Ya sudah cepat mandi dan sholat sana, biar nanti Sherin menjemputmu ia tak menunggu lama." Perintah mama.

"Iya, mama."

Setelah mandi, aku menyiapkan barang yang akan ku bawa untuk nanti. Jam 7, Sherin sudah menjemputku. 15 menit kemudian, kami berdua sampai dirumah yang megah, mewah, dan ramai, itu rumah Sherin. Disana sudah ada Sherly dan Sita serta teman-teman kakak saudara Sherin, kak sarah.

"Sherin kemari ajak teman-temanmu." Dari kejauhan kak Sarah memanggil Sherin.

"Ayo, Syifa, Sita, Sherly kesana." Ajakan Sherin dengan menunjuk kearah kak Sarah.

Kebahagian acara itu terlihat dari canda dan tawa teman-teman kak Sarah yang hadir. Di hadapanku ada seorang wanita berjilbab pink dengan lekukan senyum bahagia menghiasi wajah cantiknya. Ia adalah kak Sarah.

"Hai Syifa, apa kabar?" sapa kak Sarah padaku.

"Alhamdulillah baik kak, selamat ya kak aku turut bahagia." ku jabat tangan kak Sarah.

"Iya, terimakasih juga sudah menyempatkan untuk hadir diacaraku, Syifa." jelasnya.

"Iya kak Sarah, sama-sama."

Belum sempat panjang lebar mengobrol teman-teman kak Sarah sudah memintanya untuk bergabung kesana.

“Aku tinggal dulu ya, Syifa. Kamu nikmati dulu makanannya." kata kak Sarah.

Belum sempat ku jawab, kak Sarah sudah meninggalkanku. Aku dan teman-teman menikmati makanan yang disajikan. Awan semakin gelap, hanya sinar bulan yang menerangi bumi. Aku diantarkan pulang oleh Sita dan Sherly, setelah kami bertiga berpamitan kepada kak Sarah dan keluarga Sherin. Sesampai dirumah, aku bergegas menuju kamar. Ku rebahkan badanku ditempat tidur.

         Ponselku berbunyi, seketika aku terbangun dari tidur lelapku. Aku membaca pesan masuk tersebut dengan mata yang masih remang-remang. Saat itu juga aku langsung terkejut ketika membaca salah satu kalimatnya.  Aku terbangun dari tempat tidurku dan melihat kearah jam dinding. Syukurlah masih jam 5 pagi. Aku mencoba melihat dan membaca lagi pesan di ponselku, ternyata pesan itu dari kak Sarah yang mengajakku jogging dengan Sherin, Sita, dan Sherly. Pukul 5.30 aku sudah siap untuk jogging dengan kak Sarah dan sahabat-sahabatku.

Mulai saat itulah, aku dan kak Sarah semakin dekat, layaknya seorang kakak dengan adik perempuannya. Jika aku ada masalah, kak Sarah lah orang kedua yang membantuku setelah aku bercerita pada mama. Jika ada sesuatu hal yang tak bisa dan aku bingung, aku selalu bertanya kepada kak Sarah. Begitu pula sebaliknya. Kak Sarah juga tak cuma-cuma memberi ku apapun yang ia punya, ia juga menceritakan padaku bagaimana dia bisa sampai sekarang ini menjadi mahasiswa di UA. Ia juga menasehati ku, aku harus apa dan bagaimana untuk menuju ke universitas yang ku impikan setelah lulus SMA ini.

         Tiga tahun bukanlah waktu yang lama untuk ditempuh jika melewatinya dengan rasa keikhlasan. Kini aku lulus SMA dengan tangis kebahagiaan yang menghampiriku. Aku lulus dengan hasil yang memuaskan dan kedua orang tua ku lebih bangga melihatku ketika aku di terima di UA. Meskipun sebelumnya sempat berdebat, tetapi akhirnya orang tua ku menuruti kemauanku.

         Waktu akan terus berjalan maju, menuntun mereka yang menggunakannya dengan bijaksana dan adil. Begitu juga dengan menjadi mahasiswa di UA, semakin hari semakin banyak persaingan yang tiada hentinya untuk melangkah mencapai target masing-masing. Namun aku belum selesai mencapai targetku, aku masih harus berjuang untuk mencapainya. Selama menjadi mahasiswa di UA, aku juga tidak merepotkan orang tua ku untuk membayar kuliah ku karena aku mendapat beasiswa hingga kuliah ku selesai nanti. Dan kurasa enam tahun sudah aku menjadi mahasiswa UA, sekarang aku lulus kuliah dengan IP diurutan ke lima dalam kedokteran. Satu tahun kemudian, aku mengabdikan diriku di rumah sakit Adifa yang cukup terkenal di daerah Surabaya.

         Lekukan senyum yang menghiasi wajah kedua orang tua ku, terlihat semakin lebar dengan tangis bahagia melihat kesuksesan yang ku peroleh sekarang. “Syifa mohon maaf kalau sikap dan tingkah laku Syifa yang dulu kepada mama dan papa, Syifa sayang sama mama dan papa. Syifa akan mendampingi mama dan papa pergi ke tanah suci.” Seraya memeluk mereka berdua dengan air mata yang membasahi kedua pipi ku.

“Sayang, papa dan mama sudah pasti memaafkan itu semua. Papa dan mama sudah bahagia melihat kamu mencapai cita-citamu sekarang, yang dulu sering papa dan mama pertimbangkan untukmu agar tidak memilihnya.” Jelas papa.

         Tak lupa aku bersyukur pada-MU atas semuanya yang telah Engkau berikan kepada ku hingga aku menjadi seorang dokter yang cukup terkenal. Aku bersyukur juga Engkau telah mempertemukan ku dengan orang-orang yang mengantarkan ku pada impian ku.

         Sudah lama aku tak bertemu kak Sarah dan sahabat-sahabatku, setelah lulus SMA saat itu. Aku juga masih ingat kalimat terakhir yang ku ucapkan pada mereka, “Sampai ketemu nanti, semoga kita berempat berhasil mencapai impian yang kita ukir bersama dan bertemu di kemudian hari.”

         Hari ini jam kerja ku di rumah sakit tidak ada, ku putuskan untuk mencoba menghubungi nomor telepon sahabat-sahabatku dan kak Sarah, aku berniat mengundangnya untuk datang ke rumah ku. Dan malam itu mereka datang, hampir saja aku tak mengenali mereka. Penampilan dahulu yang ku temui sewaktu SMA, sekarang sudah jelas berubah. Sherin menjadi arsitektur, Sita menjadi direktur bank di Surabaya, Sherly menjadi dosen, dan kak Sarah menjadi dokter gigi. Kami saling bertukar pengalaman mengenai perjalanan kesuksesan masing-masing dengan canda dan tawa yang menghiasi malam itu hingga kami terlelap dalam tidur.

         Kini lengkap sudah kebahagiaan ku Tuhan, aku bersyukur kepada-MU. Aku telah berhasil mencapai target impian ku.

Jumat, 06 September 2013

“LANGKAH KU HANYA SEDERHANA”


Bintang itu ada
Saat gelap mulai menyelimuti bumi
Mengukir langit dengan indah
Menawan saat memandangnya
Mendamaikan hati saat malam tiba
Membahagiakan ketika mampu memiliki
Seutuhnya…
Sama halnya dengan kamu
Kamu itu selalu ada
Di saat semuanya diam dan menghilang
Tak ada yang lebih membuat ku ceria
Selain memandang sosokmu
Karna ada hal yang berbeda
Berbeda jauh dari lintasan logika
Yang seakan ingin mencobanya
Memasuki ruang asing pada pandanganku
Namun langkah ku terlalu jauh
Tak pantas tuk melangkah lagi
Karna langkah ku hanya sederhana
Se-sederhana dengan melihat senyum kecilmu
Yang bisa mengubah ruang ku
Menjadi lebih berwarna

Rabu, 17 Juli 2013

Semuanya akan indah pada waktunya



Percayakah bahwa dibalik kata “semuanya akan indah pada waktunya”, jika dipahami lebih dalam memang berarti benar, untuk seseorang yang sudah percaya melakukan dan merasakannya. Hanya saja melakukan dan merasakannya tak semudah ketika berbicara kepada oranglain. Percaya akan kata itu membutuhkan kesabaran menunggu dan bertindak sesuai kemampuan yang di miliki. Ini bukan bunga tidur yang indah ataupun khayalan yang ku bentuk seindah mungkin, seakan ada kekuatan yang mendorong ku untuk melakukan kata itu dan menunjuk kepada ku tuk merasakannya. Iya, kata yang selama ini ku ucapkan saat oranglain bersedih, karena cukup kuat menahan semuanya sendirian. Hingga ia membutuhkan orang lain untuk memperhatikan keadaannya dan sedikit mengurangi beban yang ia tahan sendirian.
Hingga suatu ketika aku merasakannya, merasakan permainan yang hampir membuat ku gila tuk menangisinya. Sendiri kesepian tanpa seorang kekasih maupun teman itu yang terasa disetiap malam. Sempat mengeluh ingin bebas dari semuanya, tetapi aku menerka-nerka kata itu. Bagaimana aku ingin bebas jika permainan ini “kita”-aku dan kamu- yang memulai? Membicarakannya saja belum dilakukan, apalagi diselesaikan? Sebenarnya kita apa aku saja yang harus berjuang mempertahankan semuanya? Dan dimana kamu, yang katanya selalu disampingku? Dimana dirimu ketika semua pertanyaan harus segera dijawab bukan digantungkan? Dimana? Kamu? Pikiran ku mulai melayang bersama pertanyaan-pertanyaan yang selalu memenuhi otakku hingga pipiku basah. Air mata itu jatuh, bukan hanya kali ini saja tapi untuk kesekian kalinya aku menangis. Aku tak tau bagaimana mengatasi dan menyelesaikannya, jika disini hanya aku saja yang merasakan bukan kamu atau kita. “sampai kapan aku akan bertahan dengan keadaan seperti ini? jika kamu tak cepat datang menjemputku” batinku disetiap tangis yang tak berujung.
Ah sudahlah untuk apa aku menangisi semua ini, tangisku hanya akan sia-sia jika kamu tak tau dan tak mengerti. Jika kamu tak paham akan arti tangis ini. Jika kamu tak segera menjemputku dari kesunyian ini. Jika kamu tak berbicara padaku apa arti tangisku ini? apa artinya tangisku ini dimatamu? Apa artinya tangisku ini ditelingamu? Apa artinya? Sesekali aku mencoba tak mengingat dan melupakan tentangmu sebentar, melihat seseorang yang disini denganku seakan dia seperti kamu disana yang kurindukan kedatangannya menjemputku. Bercanda dan bersenang-senang dengan dia disini membuat sejenak melupakanmu, yang semakin mengingatkan ku sosokmu. Aku terlalu merindukanmu, sayang. Berharap kamu datang menjemputku dan membawa ku pergi dari kesunyian ini. Apa kamu tak melihatnya dalam rapal doa yang selalu ku adukan kepada Tuhan?
Tiba saatnya kamu datang kepadaku, tanpa ku duga. Pikiran ku yang semula stabil normal, seketika menjadi negatif. Pertanyaan mulai muncul dalam otakku. Untuk apa kamu baru datang? Untuk apa kamu baru mengingatku? Untuk apa kamu baru sadar akan semuanya? Ku biarkan pertanyaan yang bermuncul itu menyelimuti isi otakku dan seharusnya aku senang melihatmu berdiri dihadapanku. Seharusnya aku bahagia melihat kamu menjemputku. Seharusnya aku membalas pelukan hangatmu yang mendekapku. Tapi nyatanya? Aku terdiam dan ragaku seakan membeku. Kamu akan kembali. Kamu masih mengingatku, walau dengan caramu. Kamu memang sadar akan semua yang terjadi, hanya sadarmu tak sepeka sadarku. Aku tau itu sayang.
Kini pertanyaanku yang mengantung terjawablah sudah semua. Dari kamu menghilang saat itu, membuat hubungan kita semakin dekat dan memahami bahwa hubungan yang kita lukis bukanlah hubungan yang sama seperti pasangan yang lain.


Kamu yang memakai jaket merah


     Caramu melihat dan menyapaku menggunakan ciri khasmu secara tidak langsung mampu membuat ukiran senyum diwajahku. Apalagi di saat kamu mencoba membuka topik pembicaraan, disetiap kata yang kamu keluarkan, mampu membuatku tertawa. Wajahmu yang masih lugu, cara bicaramu yang khas, badanmu yang tak terlalu tinggi dan gendut, sikapmu yang lembut, tatapan matamu yang membuat ku ingin bertemu denganmu lagi. Saat itumasih kurasakan hangatnya kedekatan kita walaupun hanya sesaat. saat itu juga kamu mencoba membuka topik pembicaraan ketika rasa malu mau menyelimuti kita. Saat itu aku masih jelas melihat raut wajahmu begitu dekat, dan saat itu (mungkin) topik pembicaraan kita harus berakhir. kamu berubah setelah pertemuan itu, mulai diam dan tak menyapaku lagi saat bertemu, hanya tatapan matamu yang seakan menjawab tanyaku ini. aku masih saja melihatmu dari jauh, saat dia sedang mencoba mengacak-acak pikiranku dan membuat hatiku gelisah tak menentu. Aku masih saja ingin bertemu denganmu, saat aku rindu awal pertama kamu menyapaku. Aku masih saja bertanya tentangmu, saat aku ingin tau kabarmu. Dan semua masih saja, kamu terdiam saat bertemu, tak menyapaku saat bertatap muka, namun kamu masih saja muncul dan hadir di saat aku sedang tak ingin menatap dia dan membutuhkan sosok dia. Saat itulah kamu muncul dihadapanku, meskipun aku dan kamu tak membuka topik pembicaraan (lagi) dan tak saling menyapa (lagi). Hanya tatapan mata yang mampu menjawabnya. Aku merindukan percakapan kita dulu dan aku hanya bisa melihat tubuhmu yang selalu memakai jaket merah.



Jumat, 01 Maret 2013

Cerita pendek tentang cinta tanah air


My life is always nuanced “batik”

“Non Seli, ayo cepat bangun. Sudah ditunggu papa dan mama diruang makan”
Suara itu mengkagetkanku hingga ku terjatuh ke lantai. Namun suara lembut itu tak asing lagi bagiku, itu suara mbok Darmi, pembantu setia dirumahku mulai dari aku kecil. Aku langsung mencuci muka dan menuju ke ruang makan, sepertinya papa dan mama telah berpakaian rapi dengan baju batik yang digunakan dan sudah menungguku begitu lama.
“Pa Ma maaf, aku telat lagi.”
“Kamu anak cewek tak sepantasnya kamu bangun siang begini, jika kakek dan nenekmu melihat pasti mereka kecewa denganmu Sel.” jelas papa.
“Iya, Pa, Seli minta maaf. Seli tidak akan mengulanginnya lagi.” Dengan wajah polos memohon ampun.
“Ya, ya sudah. Ayo makan, masalah ini bisa dibicarakan nanti.” Sahut mama.
          Kata-kata mama kali ini sudah keberapa kali telah menyelamatkan ku dari pembicaraan papa yang selalu memarahiku pagi-pagi. “untung saja mama langsung memotongnya” batinku. Kami bertiga lalu bersarapan bersama, setelah itu papa dan mama berangkat ke kantor masing-masing. Sedangkan aku, aku menuju ke kamarku untuk bersiap-siap pergi kuliah dengan memakai batik biru muda dan celana jeans hitam yang sudah menjadi kebiasaanku dari kecil. Semua isi rumahku dan bahkan rumahku pun bernuasa batik, karena batik sudah menjadi koleksi dikeluarga besarku. Kali ini aku berangkat sendiri, Shanti tak bisa menjemputku karena ia ada keperluan pribadi. Terpaksa aku mengendarai mobil sendiri, keluar dari halaman rumah lalu menyusuri jalan yang tiaphari ku lewati sebelum ke tempat kuliah. Sesampai disana, sudah banyak mahasiswa yang berdatangan untuk memasuki kelas.
“Hei Sel, sendirian aja loe? Kemana itu ekor loe? Haha” tibatiba terdengar suara yang sudah lama ku kenal, suara itu tak lain adalah Ricky. Ia sahabatku mulai dari kecil hingga sekarang.
“Siapa emang ekorku? Ada-ada aja loe itu, Rick.” Sambil berjalan dan tertawa.
“Siapa lagi kalo bukan sih Shanty itu? Itukan ekormu dari dulu.” Dengan tertawa terbahak-bahak.
“Oh, katanya dia lagi ada keperluan makanya dia gak njemput aku. Tuh dia uda ada disana.” Jawabku dengan menunjuk kearah Shanty.
          Shanty melambaikan tangannya, begitu pula aku dan ricky. Kami langsung menuju ke Shanty, kemudian kami bertiga memasuki kelas. Ohya dari SMA hingga sekarang, aku, Shanty, dan Ricky masih satu sekolah dan masih utuh persahabatan kami. Sejam kemudian kelas dimulai dan tiga jam kemudian kelas diakhir, begitu seterusnya kecuali hari minggu.
          Aku memutuskan hari ini tidak kemana-mana, aku ingin langsung pulang setelah kuliah. Sampai dirumah, aku menjatuhkan badanku yang tak kuat lagi berdiri lama. Seharian ini aku sangat sibuk sekali. Tak terasa pagi telah tiba, aku bersiap-siap seperti biasa melakukan hal yang seharusnya ku lakukan. Mulai dari kuliah hingga tidur kembali, itu adalah rutinitasku setiap hari.
          Suatu ketika rumahku ke datangan tamu istimewa, siapa lagi kalau bukan kakek dan nenekku yang telah lama tak berkunjung kerumahku. Aku sangat senang sekali mereka kerumahku, bagaimana tidak? Aku sudah lama tak bertemu dengan mereka. Mereka menginap beberapa hari dirumahku untuk refreshing dan melihat baju batik yang ada didaerahku.  Kakek dan nenekku senang sekali dengan baju batik, sampai fanaticnya mereka membuka kios batik. Bagi mereka, mengkoleksi batik dan membuka kios batik adalah cara untuk melestarikan batik yang ada di Indonesia dan mencintai produk tanah air sendiri. Rumah beserta kelengkapannya selalu bernuansa batik, anak-anak dari kakek pun menirunya, tak terkecuali rumahku. Kios batik mereka telah bercabang dan berada dimana-mana, bahkan telah terkenal hingga nasional. Mereka kakek dan nenekku yang paling kuat dan tangguh yang masih bisa berkeliling kemana-mana dan merintis usahanya sendiri. Menjadi cucu mereka adalah suatu kebanggaan tersendiri bagiku. Jika aku diwarisi oleh mereka untuk meneruskan usaha mereka ini, mungkin aku tak bisa berbicara apa-apa kalau mendengarnya dan ingin melakukan semua itu dengan senang hati.
          Bersama mereka terasa sedetik saja dalam hitunganku, pagi ini mereka akan kembali ke kotanya. Aku ingin ikut dengan mereka, namun aku juga masih ada kuliah. Namun ketika aku, papa, mama, kakek, dan nenek berkumpul  dan membicarakan ini. Papa dan mama memperbolehkan ku ikut dengan mereka dalam waktu seminggu, itu telah membuatku senang. Tetapi ada lagi yang membuatku senang, ketika kakek dan nenekku berkata kalau kios batik yang dimilikinya itu akan diwariskan padaku kelak nanti jika waktunya telah tepat. “Oh God, aku sangat bersyukur padamu. Terimakasih telah mengabulkan doaku.” Batinku.
          Matahari sudah terbangun dari mimpi indahnya, suara ayam berkokok dan kicauan burung serta udara yang sejuk dan asri menambah indahnya suasana pagi ini. Kota yang ditempat tinggali kakek dan nenekku memang sungguh sangat nyaman dan masih jauh dari polusi, sangat berbeda sekali dengan kota yang kutinggali bersama dengan kedua orang tuaku. Aku mungkin tak akan bosan jika setiap pagi melihat suasana seperti ini. Seminggu sudah berlalu, saatnya aku kembali ke Semarang untuk menjalani rutinitas ku setiap hari disana. Sebenarnya aku masih ingin bersama kakek dan nenek membantu mereka merintis usaha batiknya, tetapi sudahlah. Suatu saat nanti aku juga akan merasakan itu jika waktumya telah tepat.
          Satu tahun kemudian, aku telah lulus kuliah dan mendapat nilai terbaik dikampusku. Begitu pula dengan Shanty dan Ricky, mereka juga berada diurutan setelah aku. Setelah lulus kuliah, kakek dan nenek memberikan kios batik kepadaku. Mulai saat itu, aku mulai merintis usahanya dengan senang hati. Aku sekarang baru bisa merasakan bagaimana berada di posisi mereka, sungguh berat dan penuh tanggungjawab. Tapi mereka tak pernah mengeluh dan berputus asa melakukannya, malahan mereka sangat bersyukur kepada Tuhan telah diberikan nikmat yang begitu besar.
          Waktu berjalan semakin cepat, seperti ombak yang selalu berkejar-kejaran untuk meraih daratan pantai. Tak terasa dua tahun telah terlewati sudah, kios batik yang diberikan oleh kakek dan nenek kini semakin berjaya dan sukses hingga menuju ke internasional. Mereka sangat bangga denganku tak terkecuali papa dan mama, karena memang cita-citaku mulai dari kecil meneruskan tempat kios batik yang sudah dikelola oleh kakek dan nenek untuk melestarikan budaya yang ada di Indonesia dan mencintai produk tanah air sendiri.
           Aku senang dan bangga telah dilahirkan di keluarga besarku ini, serta menjadi bagian dari Negara Indonesia. Dikeluarga besarku ini, aku diajarkan bagaimana menghargai dan mencintai tanah air, salah satunya yaitu dengan memakai baju batik. Batik adalah khas Indonesia yang sudah menjadi trend di model fashion dikalangan masyarakat Indonesia. Namun bukan hanya dengan menggunakan baju batik saja untuk mencintai tanah air Indonesia, tetepi ada berbagai macam cara untuk mencintai tanah air Indonesia.