Kamis, 16 April 2015

Still Hope Part 1

         Malam ini langit tak meneteskan air matanya, namun kemarin langit begitu menangis secara deras. Hingga aku tak mampu melihat bintang, bahkan sinar rembulan redup. Hembusan angin dan dingin melarang setiap insan untuk muncul keluar melihat apa yang terjadi. Namun aku menentang itu dengan keadaan jiwa dan fisikku –yang lemah karna memikirkan hal yang seharusnya segera ku bicarakan- untuk kuat. Ah tapi sudahlah itu kemarin, ia sudah menjadi kenangan. Hanya saja, perasaan yang ada di dalam hati seakan berkompromi lagi dengan pikiran untuk segera diungkapkan.
          Saat itu, aku tak ada maksud ingin membuka diary satu dan dua tahun lalu tapi apa daya ku bisa menahan tangan ini untuk membuka setiap lembaran dengan membaca hasil tulisan suka dan duka bersama mereka. Senyuman setiap pagi saat tiba disekolah, sapaan dan teriakan selamat pagi, alunan cerita suka dan duka, bernyanyi untuk saling menghibur, berfoto dengan senyum meski hati tak sehat, belajar dengan bernyanyi, mencontek dengan polosnya, mendukung meski tak sependapat dan melapiaskan rindu dengan sms atau chat walaupun kita tau selalu berada dalam ruang yang sama, sebelum akhirnya berpisah.
          Waktu adalah masa untuk menciptakan kebahagiaan, menciptakan persahabatan dan menciptakan kenangan; untuk segera dikenang atau diabaikan. Jalan yang kita pilih memang berbeda, kita tak bisa menentangnya karna kita tau ini jalan menuju masa depan yang sudah kita rangkai. Kebahagiaan dan kesedihan sudah menjadi satu paket, wajar saja bukan jika itu sekarang terjadi pada kita. Berjalan keluar dari kebiasaan yang dulu kita lakukan, itu tak bisa ku lakukan dengan mudah. Terkadang aku bahagia kita akan tumbuh lebih dewasa dengan perbedaan dan tak saling bertemu.  Terkadang aku juga sedih mengapa aku tak berkata jujur kepada kalian bahwa tak ada yang bisa menggantikan kalian sebagai sahabatku selama SMA, meski ruang yang kita tepati berbeda. Ku kira kebersamaan dalam satu ruang ini tetap ada, hingga aku melupakan untuk berkata bahwa aku bahagia dengan persahabatan ini kepada kalian -walaupun kita mempunyai karakter yang berbeda- sebelum akhirnya berpisah.
          Aku tak bisa berkata apapun saat meluangkan waktu sebentar untuk berkumpul dengan kalian. Entah apa yang membuat aku tak bisa berkata apa yang sebenarnya kurasakan, karna aku merasa ada yang berbeda. Kalian masih dalam ruang sama, aku masih dalam ruang berbeda dengan kalian. Muncul jarak antara aku dan kalian, alunan cerita suka duka, senyum, sapaan dan teriakan yang pernah ku ucap atau ku dengar tak bisa ku rasakan sama karna terbatas oleh waktu dan jarak. Semua berjalan perlahan namun pasti, seakan kalian ingin pergi meninggalkan aku dalam kediaman, kebisuan dan ketertutupan oleh adanya keterbatasan itu; waktu dan jarak.
          Masih bolehkah, aku memohon kepada Allah agar kalian dapat berkumpul dengan aku, seperti dulu walaupun keadaan sudah tak sama? Masih diizinkankah, aku datang kembali kepada kalian dengan ketertinggalan diriku selama aku tak berada disamping kalian? Dan masih bolehkah aku meminta kalian untuk memaafkan aku karna pasti kalian beranggapan aku selalu mementingkan dia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar